Ade itu bocah tengil, tapi aku harus mengakui, dia ganteng. Wajahnya yang polos dengan senyum tipis yang sering dia berikan saat kami berpapasan, selalu berhasil membuat perutku bergejolak. Aku pindah ke perumahan ini bersama anak angkatku, Shinta, dan pembantu kami, Bi Darmi. Awalnya, aku tidak terlalu memperhatikan tetangga sekitar, karena aku sedang sibuk mengurus rumah baru. Namun, sejak dua minggu terakhir, aku mulai sering berinteraksi dengan mereka. Dan yang paling menarik perhatianku adalah bocah bernama Ade ini.
Aku tahu dia masih SMU, kelas 3 lagi. Tapi entah kenapa, setiap kali aku melihatnya, pikiranku langsung melayang ke hal-hal yang tidak senonoh. Aku sering memperhatikannya saat dia bermain basket di depan rumahnya atau saat dia membantu ibunya menyiram tanaman. Rambutnya yang sedikit acak-acakan, keringat yang membasahi bajunya, dan senyumnya yang polos… ah, gila. Aku merasa seperti pedofil. Namun, aku tidak bisa memungkiri, aku penasaran.
Suatu sore, aku sedang menyiram tanaman di halaman depan saat Ade keluar dari rumahnya. Dia hanya memakai celana pendek dan kaus oblong. Otot-ototnya yang terbentuk mulai terlihat jelas, membuat mataku tidak bisa lepas darinya. “Hai, Tante Yana,” sapanya dengan senyum khasnya. “Hai juga, Ade.” Balasku sambil menahan senyum. Jantungku berdebar kencang. “Tumben, Ade, sore-sore begini sudah di luar. Tidak ada PR?” tanyaku mencoba bersikap normal. “Ada kok, Tante. Tapi Ade lagi bosen di rumah. Ade mau ke warung depan, beli minuman,” jawabnya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Oh, begitu. Mau Tante temani?” tawarku. Bodoh, Yana, kenapa aku menawarkan itu? Aku langsung merutuki diriku sendiri. Ade tampak terkejut, tapi kemudian dia tersenyum lebar. “Boleh, Tante. Biar Ade ada teman ngobrol,” jawabnya. Kami berjalan beriringan menuju warung di ujung jalan. Suasana canggung menyelimuti kami berdua. Aku tidak tahu harus bicara apa. Pikiranku terus-menerus membayangkan hal-hal yang seharusnya tidak aku bayangkan. Aku bisa merasakan tatapan Ade ke arahku sesekali, membuatku salah tingkah.
Sesampainya di warung, Ade membeli beberapa minuman dingin. Aku ikut membeli satu, lalu kami duduk di bangku panjang di depan warung. “Tante, kenapa pindah ke sini?” tanya Ade tiba-tiba. Pertanyaan itu membuatku tersentak dari lamunanku. “Kenapa? Kamu mau tahu, ya?” tanyaku dengan nada menggoda. “Iya, Tante,” jawabnya sambil terkekeh pelan. “Aku pindah ke sini karena aku suka suasananya. Tenang dan nyaman,” jawabku jujur. Kami berdua terdiam, menikmati minuman dingin kami. Angin sepoi-sepoi menerpa rambutku, dan Ade tiba-tiba berkata, “Tante, Tante itu cantik, ya.”
Perkataan Ade membuat jantungku berdebar lebih kencang. Aku menoleh ke arahnya, dan dia langsung mengalihkan pandangannya. “Kenapa, Ade? Ada yang salah?” tanyaku sambil tersenyum. “Nggak, Tante. Ade cuma... Ade cuma bilang kalau Tante itu cantik,” jawabnya dengan suara pelan. Aku tidak bisa menahan senyumku. Rasanya ada kupu-kupu yang berterbangan di perutku. Ini gila. Aku benar-benar gila. Tapi aku menyukainya. Sialan.
Aku mengalihkan pembicaraan, mencoba mencari topik lain. "Ade, aku mau tanya deh. Rumah kamu di sini sudah lama?" tanyaku. Dia mengangguk. "Sejak aku SD, Tante. Kenapa?" tanyanya balik. "Ya, nggak kenapa-kenapa. Aku cuma penasaran," jawabku. Pikiranku terus-menerus memutar ulang kata-katanya tadi. *Tante, Tante itu cantik, ya*. Sial. Ini tidak benar. Aku tidak seharusnya merasa senang dengan pujian dari anak SMA.
Kami berjalan pulang. Suasana kembali canggung. Namun, kali ini, aku tidak keberatan. Aku malah menyukai keheningan di antara kami. Rasanya aneh, tapi entah kenapa, aku merasa nyaman berada di dekatnya. Ade berjalan di sampingku, sesekali bahu kami bersentuhan, membuatku merinding. Aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya, dan aku harus mengakui, aku suka.
Saat kami sampai di depan rumahku, Ade menghentikan langkahnya. "Makasih ya, Tante, sudah mau nemenin Ade," katanya. "Sama-sama, Ade," jawabku dengan senyum. "Tante, nanti kalau Tante lagi butuh bantuan, Tante panggil Ade aja, ya," katanya. Aku mengangguk. "Tentu. Makasih banyak, Ade." Ade tersenyum. Senyum itu. Senyum yang membuat lututku lemas. "Kalau gitu, Ade balik dulu, Tante. Sampai ketemu lagi," katanya sambil melambaikan tangan. Aku hanya bisa mengangguk, terlalu kaget untuk mengucapkan kata-kata.
Aku masuk ke dalam rumah. Jantungku berdebar kencang. Aku bersandar di pintu, mencoba menenangkan diriku. Apa-apaan ini? Kenapa aku merasa seperti remaja yang sedang jatuh cinta? Aku tidak bisa membiarkan ini terjadi. Aku tidak bisa jatuh cinta pada anak SMA, apalagi dia tetanggaku. Aku menggelengkan kepalaku, mencoba mengusir pikiran-pikiran gila ini. Namun, semakin aku mencoba mengusirnya, semakin kuat pikiran itu muncul.
Beberapa hari kemudian, aku sedang membersihkan halaman belakang rumah, saat aku mendengar suara bola basket yang memantul. Aku menoleh ke arah tembok pembatas, dan aku melihat Ade sedang bermain basket di halaman belakangnya. Aku bisa melihatnya dengan jelas. Keringat membasahi bajunya, dan otot-ototnya terlihat lebih jelas. Aku mengalihkan pandanganku, tapi tidak bisa.
Aku terus memandangnya, seperti seorang penguntit. Dia sangat atletis. Setiap kali dia melompat dan memasukkan bola ke ring, otot-ototnya terlihat jelas. Aku bisa merasakan napas memburu. Perasaanku kacau balau. Aku harus berhenti. Aku tidak bisa terus-menerus seperti ini. Aku berbalik, berniat masuk ke dalam rumah. Tapi tiba-tiba aku mendengar Ade memanggil namaku. “Tante Yana!” Aku menoleh. “Ade?” tanyaku. Dia tersenyum. “Tante lagi ngapain?” tanyanya. “Ini, Ade. Lagi bersihin halaman belakang,” jawabku. “Mau Ade bantu, Tante?” tanyanya. “Ah, nggak usah, Ade. Ini cuma sedikit,” jawabku. Tapi dia bersikeras. “Nggak apa-apa, Tante. Ade lagi nggak ada kerjaan. Boleh ya Ade bantu?” tanyanya. Aku tidak bisa menolak. Akhirnya aku mengangguk. “Ya sudah. Makasih banyak, Ade.”
Dia langsung melompati tembok pembatas dan masuk ke halaman belakangku. Dia tidak memakai baju. Otot-ototnya terlihat jelas. Keringat membasahi tubuhnya. Aku menelan ludah. Ini akan menjadi sore yang panjang.
Ade masuk ke halaman belakang rumahku. Otot-ototnya yang basah oleh keringat terlihat jelas di bawah sinar matahari sore. Aku berusaha untuk tidak menelan ludah, tapi gagal. Aku bisa merasakan jantungku berdebar semakin kencang. "Tante, ini sapu dan serokan sampahnya?" tanya Ade, suaranya terdengar serak. "Iya, Ade. Itu di dekat pintu," jawabku, suaraku nyaris tidak terdengar.
Kami mulai menyapu dan membersihkan halaman belakang. Sesekali, tangan kami bersentuhan, dan setiap kali itu terjadi, aku bisa merasakan hawa panas menjalar ke seluruh tubuhku. Aku berusaha untuk fokus pada pekerjaanku, tapi pikiranku terus-menerus melayang ke Ade. Aku bisa melihatnya dari sudut mataku, otot-ototnya yang bergerak, keringat yang menetes dari keningnya. Aku merasa gila.
Tiba-tiba, tanganku tersentuh olehnya. "Eh, Tante. Maaf," katanya sambil tersenyum malu. "Nggak apa-apa, Ade," jawabku. Dia menatap mataku, senyumnya menghilang. Aku bisa melihat hasrat di matanya. Aku tahu apa yang dia pikirkan. Aku tahu apa yang aku pikirkan. Ini gila, tapi aku tidak bisa menghentikannya.
"Tante... Tante cantik banget sore ini," katanya dengan suara pelan. Aku tidak menjawab. Aku hanya menatapnya. Dia melangkah mendekat. Jarak di antara kami semakin menipis. Aku bisa merasakan napasnya di wajahku. Aku bisa mencium bau keringatnya, dan itu membuatku gila. Dia mengangkat tangannya, menyentuh pipiku. Sentuhannya sangat lembut. Aku memejamkan mata. “Ade… ini nggak bener,” bisikku, tapi suaraku terdengar seperti desahan.
"Aku nggak peduli," katanya sambil mendekatkan wajahnya. Aku bisa merasakan bibirnya menyentuh bibirku. Ciumannya lembut, tapi penuh gairah. Aku membalas ciumannya, dan semuanya menjadi kabur. Aku melingkarkan tanganku di lehernya. Dia memeluk pinggangku, mendorong tubuhku ke dinding. Aku bisa merasakan kejantanannya yang menegang. Aku mendesah, dan Ade menggeram pelan.
Dia melepaskan ciumannya, dan mulai menciumi leherku. Aku mendongakkan kepalaku, memberinya akses lebih. “Ahhh… Ade…” desahku. Dia tidak berhenti. Ciumannya semakin turun, ke dadaku. Dia merobek kancing kemejaku, dan membuka braku. Aku mendesah lagi saat dia mulai menjilat dan menghisap putingku. "Ahh.. ahhh... Ade... lebihh... lagi..." desahku. Dia merespons dengan mengisap lebih kencang, membuatku mendesah semakin keras.
Tiba-tiba, dia mengangkatku, dan aku melingkarkan kakiku di pinggangnya. Dia membawaku masuk ke dalam rumah. Kami tidak berhenti berciuman. Dia mendudukkanku di sofa, dan aku bisa merasakan hasrat yang membara. Ade melepaskan celananya, lalu menarik celana dalamku. “Tante, aku mau kamu,” bisiknya. Aku tidak menjawab. Aku hanya mengangguk. Dia meremas bokongku. “Ade…” desahku. Dia mulai memasukkan miliknya. Rasanya sakit, tapi nikmat. “Ahhh… ahhh… Ade… pelan… pelan…” desahku, tapi aku tidak ingin dia melambat.
Dia mulai bergerak. Aku mendesah semakin keras. Setiap kali dia bergerak, aku mendesah. Ade mencium bibirku, dan kami terus melakukannya, sampai kami berdua kelelahan. Kami berbaring di sofa, terengah-engah. Ade memelukku. "Tante, ini salah," kataku. "Enggak, Tante. Ini benar," jawabnya. Aku tidak bisa membantah. Aku terlalu lelah, terlalu bingung, dan terlalu senang untuk membantahnya.
Kami berdua terbaring di sofa, terengah-engah, dengan keringat membasahi tubuh kami. Aku masih melingkarkan kakiku di pinggang Ade. Dia memelukku erat, seakan tak mau melepasku. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang berdebar kencang, sama kencangnya dengan detak jantungku. "Ade, aku nggak nyangka kita bakal sampai di sini," bisikku, suaraku masih serak. "Aku juga, Tante. Tapi aku suka. Aku suka banget," jawabnya, suaranya terdengar bahagia.
Dia mencium keningku, lalu turun ke bibirku. Ciumannya kali ini lebih lembut, lebih dalam, seakan ingin menyampaikan semua perasaannya. Aku membalasnya dengan penuh kasih. Aku tidak peduli lagi apakah ini salah atau benar. Aku hanya ingin menikmati momen ini.
Ade memindahkan badannya, lalu ia kembali menciumiku dari leher, turun ke dada, dan akhirnya ke area bawah. Aku menggeram nikmat saat sentuhan dan jilatannya membuatku kembali bergairah. “Ahh.. Ahhhh.. Ade.. *please*… lebih dalam..” desahku. Dia merespons dengan menggeram pelan, lalu dia kembali memasukkan miliknya. Aku meremas bokongnya, dan Ade mulai bergerak. Dia bergerak lebih cepat, lebih dalam, dan aku mendesah semakin keras.
"Aku nggak bisa Tante... Aku mau keluar..." Ade mendesah, suaranya tercekat. Aku mengangguk. "Keluar, Ade... keluar di dalam aku..." jawabku. Dia menggeram keras, lalu menggerakkan badannya dengan lebih cepat lagi. Aku mendesah, lalu akhirnya klimaks. Aku bisa merasakan dia juga mencapai puncaknya, lalu dia ambruk di atasku.
Kami berdua terbaring di sofa, terengah-engah, kali ini dengan nafas yang jauh lebih teratur. Ade mencium bahuku. “Tante, aku sayang kamu,” bisiknya. Aku tidak menjawab, aku hanya memeluknya lebih erat. Setelah beberapa saat, dia mengangkat kepalanya, lalu menatap mataku. “Tante, kenapa Tante diam aja?” tanyanya. “Aku cuma bingung, Ade. Ini salah, kan?” tanyaku. Dia menggeleng. “Nggak, Tante. Ini nggak salah. Ini cinta. Aku cinta Tante,” katanya.
Aku tersenyum. “Aku juga cinta kamu, Ade,” jawabku. Kami berciuman lagi, dan kali ini, ciuman itu penuh dengan cinta, bukan hanya gairah. “Tante, aku mau kita terus seperti ini. Aku nggak mau kita pisah,” katanya. Aku mengangguk. “Aku juga,” jawabku. “Aku mau kita terus bareng. Aku janji aku bakal jagain Tante,” katanya. “Aku tahu. Aku percaya sama kamu, Ade,” jawabku. Kami berpelukan lagi. Kami berdua tahu, malam ini adalah awal dari hubungan baru, hubungan yang salah, tapi sangat kami inginkan.
Setelah beberapa saat, Ade mulai membersihkan diri, dan kembali memakai celananya. Aku juga melakukan hal yang sama. Aku membetulkan bajuku, dan menatap Ade. “Tante, aku pulang dulu. Besok aku ke sini lagi, ya,” katanya. Aku mengangguk. Dia mencium keningku, lalu melompat tembok pembatas dan kembali ke rumahnya. Aku berdiri di depan pintu, menatapnya. Aku tersenyum, dan aku tahu, hidupku tidak akan sama lagi.
Aku terbangun keesokan paginya, dan aku merasa berbeda. Rasanya seperti ada sesuatu yang baru dalam diriku. Aku berjalan ke jendela, dan melihat ke luar. Aku melihat Ade sedang bermain basket. Dia tidak memakai baju. Otot-ototnya terlihat jelas. Keringat membasahi tubuhnya. Aku tersenyum. Sialan. Aku benar-benar jatuh cinta padanya.
Aku menghabiskan beberapa hari berikutnya dengan perasaan yang campur aduk. Aku bahagia karena aku memiliki Ade, tapi aku juga takut. Aku takut kalau orang lain akan tahu hubungan kami. Aku takut kalau orang tuanya akan tahu. Aku takut kalau aku akan menyakiti Ade. Tapi aku juga tidak bisa melepaskannya. Aku tidak bisa membayangkan hidupku tanpanya.
Suatu malam, Ade datang ke rumahku. Dia tidak melompat pagar seperti biasanya. Dia mengetuk pintu. Aku membukanya, dan dia langsung memelukku. “Tante, aku kangen,” bisiknya. “Aku juga, Ade,” jawabku. Kami berciuman, dan aku bisa merasakan gairah yang membara. Ade membawaku masuk ke dalam rumah. Kami berdua naik ke kamarku.
Di kamar, kami berciuman lagi. Kali ini, ciuman itu lebih dalam dan lebih penuh gairah. Ade membuka bajuku, dan aku juga membuka bajunya. Kami berdua terbaring di ranjang, tanpa sehelai benang pun. Aku bisa melihat otot-ototnya yang terbentuk, dan aku bisa merasakan kehangatannya. Ade menciumiku, lalu dia turun ke leherku, lalu ke dadaku. Aku mendesah, dan Ade menggeram pelan.
"Tante, aku mau kita terus seperti ini," katanya. "Aku juga, Ade," jawabku. "Aku cinta Tante," bisiknya. Aku tersenyum. "Aku juga cinta kamu, Ade," jawabku. Dia menatapku. "Tante, aku mau Tante punya anak dari aku," katanya. Aku terkejut. "Ade... kamu serius?" tanyaku. Dia mengangguk. "Aku mau kita punya anak. Aku mau kita punya keluarga," jawabnya.
Aku tidak bisa berkata-kata. Pikiranku campur aduk. Aku ingin punya anak, tapi aku tidak yakin apakah aku siap untuk itu. Aku tidak yakin apakah Ade juga siap. Tapi aku melihat hasrat di matanya. Aku tahu dia serius. "Ade, aku nggak bisa kasih kamu anak sekarang," kataku. "Kenapa?" tanyanya. "Aku nggak siap. Kita... kita masih muda, Ade," jawabku.
Dia tidak menyerah. "Aku akan jagain kamu, Tante. Aku akan jagain anak kita," katanya. Aku tersentuh. Aku menciumnya. Aku tahu, aku tidak bisa menolaknya. Kami terus bercinta, sampai kami berdua kelelahan. Aku tidur di pelukannya. Aku tahu, ini adalah awal dari kehidupan baru. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi aku yakin, aku akan bahagia.
Aku terbangun pagi-pagi, dan melihat Ade tidur di sampingku. Dia terlihat begitu damai. Aku mencium keningnya, dan dia terbangun. "Tante... kenapa Tante bangun pagi-pagi?" tanyanya, suaranya serak. "Aku cuma mau lihat kamu tidur," jawabku. Dia tersenyum. Kami berpelukan, dan aku tahu, aku tidak akan pernah melepaskannya. Aku mencintainya. Dan aku akan selalu mencintainya.
***
TAMAT
Ada blog khusus cerita dewasa super lengkap namanya ceritagetar.wordpress.com