Perutku sudah enakan. Aku berjalan pelan keluar dari WC, berharap bisa segera pulang dan rebahan di kasurku yang empuk. Tapi begitu aku buka pintu WC, mataku langsung menyipit. Ada seorang satpam lagi berdiri di depan pintu, memunggungiku. Dia lagi asyik merokok sambil mainin HP-nya. Aku cuma bisa menghela napas. Kenapa sih harus ada orang di sini?
"Mas, permisi," kataku pelan.
Dia menoleh. Matanya langsung melotot. "Oh, non... Eliza?"
Aku langsung kenal. Dia satpam baru di sekolahku, namanya siapa ya? Ah, aku lupa. Tapi dia lumayan ganteng sih. Badannya tegap, otot bisepnya kelihatan gede banget di balik seragamnya yang ketat. Aku cuma senyum tipis.
"Iya, Mas. Saya mau pulang," jawabku sambil melangkah maju.
Tapi dia malah mundur, ngadangi jalan. "Tunggu dulu, Non. Udah malam lho ini. Sekolah sepi banget."
"Iya, Mas. Saya tahu. Makanya saya mau pulang. Mobil saya di depan."
Dia malah ketawa. Ketawanya berat, bikin bulu kudukku berdiri. "Emang kenapa kalau sepi, Non? Justru enak kan? Kita bisa berduaan, enggak ada yang ganggu."
Aku langsung merasa ada yang enggak beres. Ini satpam brengsek, pikirku. Dia berani banget ngomong kayak gini sama aku? Aku mau ngambil HP-ku di saku celana, tapi dia langsung gerak cepet. Tangannya nangkep tanganku. Gila, tangannya gede banget. Aku mau teriak, tapi dia langsung nutup mulutku pake tangannya yang lain.
"Jangan teriak, Non. Nanti ketahuan. Tenang aja, aku enggak bakal macem-macem kok. Kita cuma main-main sebentar aja."
Aku berontak. Aku tendang kakinya, tapi dia enggak bergeming. Cengkeramannya malah makin kuat. "Mmhh... mmmh..."
Dia senyum miring. "Berontak aja terus, Non. Aku suka lihat cewek berontak. Makin bikin nafsu."
Aku terbelalak. Sialan. Otakku langsung muter. Aku enggak boleh panik. Aku harus lawan. Aku harus tunjukin kalau aku bukan cewek lemah yang gampang ditakutin. Aku kan Eliza. Aku bukan cewek penakut, aku jagoan.
Aku lirik ke bawah. Cengkeramannya di mulutku enggak terlalu kuat. Aku gigit jarinya sekuat tenaga. Aaargh! Dia langsung teriak kesakitan, melepas cengkeramannya di mulutku. Aku langsung teriak, tapi dia dengan cepat membekap mulutku lagi. "Anjing! Berani gigit aku ya!"
"Emang kenapa? Mau apa lu?! Aku teriak beneran nih!"
"Aku bilang jangan teriak!" Dia membentak sambil ngedorongku masuk ke WC lagi. Tangannya mencekik leherku. Aku kesusahan bernapas. Mataku berair. Sial, dia beneran mau nyerangku.
"Lepasin aku!"
"Aku bakal lepasin kamu, tapi ada syaratnya." Dia menyeringai. "Turuti apa maunya aku."
"Dasar satpam gila! Lepasin aku! Aku bisa laporin kamu!"
Dia tertawa, tapi kali ini tawanya enggak enak didengar. "Coba aja laporin. Siapa yang bakal percaya sama kamu? Cewek kayak kamu ini, jam segini masih di sekolah, bolak-balik ke WC, pasti abis ngapain-ngapain kan?"
Aku geram. "Tutup mulut busukmu! Aku enggak kayak yang kamu pikirin!"
Dia mengangkat alisnya. "Oh ya? Terus kenapa jam segini masih di sini? Jangan-jangan nungguin cowok ya?"
"Bukan urusanmu!"
Dia menamparku. Plaaakk! Tamparannya keras banget. Pipi kiriku panas. Air mataku menetes. Sialan! Aku enggak suka ditampar. Aku enggak suka diperlakukan kayak gini. Amarahku memuncak. Aku langsung melotot, menatap matanya tajam.
"Kenapa, non? Udah berani nantang aku ya?"
"Iya! Kenapa?! Aku enggak takut sama kamu!"
Dia ketawa lagi. "Oh ya? Kita lihat aja nanti."
Dia langsung dorongku ke dinding. Tangannya meraba pinggangku. Aku meronta, tapi tenaganya jauh lebih kuat dari aku. "Jangan... jangan sentuh aku!"
"Terlambat, non."
Dia mencium leherku, lalu turun ke dadaku. Bajuku ditarik, lalu dia merobeknya dengan kedua tangan. Kancing-kancingnya copot, bajuku jadi robek. Aku cuma bisa meronta. Tapi semakin aku meronta, semakin kuat cengkeramannya.
"Lepasin aku, bajingan! Lepasin!"
"Aku enggak bakal lepasin kamu sampai kamu puas."
Dia merobek braku, lalu meremas payudaraku dengan kasar. Rasanya sakit banget. "Akh! Jangan... jangan!"
Dia enggak peduli. Dia malah terus meremas, lalu menciumi puting payudaraku. Rasanya geli, sakit, dan campur aduk. Aku bingung. Aku harus gimana?
---
Tiba-tiba, dia melepas cengkeramannya. Aku langsung terengah-engah, mengatur napas. Satpam itu menatapku. Matanya merah, napasnya enggak karuan.
"Kenapa, non? Udah pasrah?"
Aku menggeleng. "Enggak. Aku enggak bakal pasrah sama kamu."
Dia menyeringai. "Kalau gitu, kita lihat siapa yang bakal menyerah duluan."
Dia langsung menurunkanku. Lalu, dia membuka resleting celananya. Aku terbelalak. Ukurannya... gila. Gede banget.
"Gimana, non? Suka?"
Aku enggak bisa ngomong. Aku cuma bisa menelan ludah. Tapi, dia salah. Aku bukan takut. Aku malah penasaran. Aku kan Eliza. Aku enggak pernah takut sama cowok.
Aku senyum. "Emang kenapa? Kamu pikir aku takut?"
Dia kaget. "Kamu... enggak takut?"
"Aku justru penasaran. Apa bener kamu sehebat itu?"
Dia tertawa. "Oh ya? Kalau gitu, sini! Aku bakal buktiin kalau aku hebat."
Dia langsung meniduriku di lantai. Dingin. Lantai keramik WC terasa dingin di punggungku. Dia langsung menyusup masuk. Aku mendesah. "Ahhh..."
"Gimana? Enak?"
"Aku... enggak tahu."
Dia mencium bibirku. Ciumannya kasar, tapi aku membalasnya. Aku gigit bibirnya. Dia mengerang kesakitan.
"Sialan, kamu! Berani gigit aku?"
"Kenapa? Kamu enggak suka?"
Dia melepaskan ciumannya. Lalu, dia mulai bergerak. Pelan, lalu semakin cepat. Aku mendesah lagi. "Mmmhh... akhh..."
Aku pegang pinggangnya. Aku eratkan pelukanku di lehernya. Aku cium bibirnya. Aku nikmatin setiap gerakannya. Sial, rasanya enak banget.
"Kamu... hebat," kataku sambil terengah-engah.
"Aku kan satpam. Tenagaku kuat."
"Aku suka. Aku suka yang kuat."
"Oh ya?"
Dia semakin cepat. Semakin dalam. Semakin liar. Aku menjerit. Aku enggak tahan. "Aaakhh... akh... aku... aku mau keluar!"
"Sabar, non. Aku belum selesai."
Dia berhenti bergerak. Dia mencium leherku. "Kamu suka aku, kan?"
"Iya... aku suka kamu."
Dia tertawa. "Oh ya?"
Dia semakin cepat. Semakin dalam. Semakin liar. Aku menjerit. Aku enggak tahan. "Aaakhh... akh... aku... aku mau keluar!"
"Sabar, non. Aku belum selesai."
Dia berhenti bergerak. Dia mencium leherku. "Kamu suka aku, kan?"
"Iya... aku suka kamu."
Dia tertawa. "Kalau gitu, kita buat lagi. Aku suka kalau kamu pasrah sama aku."
"Aku enggak bakal pasrah sama kamu, bajingan. Aku yang bakal bikin kamu pasrah sama aku."
Aku balik memegang kendali. Aku naik di atasnya. Dia kaget. Matanya terbelalak. "Kamu... apa yang kamu lakukan?"
Aku cuma menyeringai. "Giliran aku."
Aku mulai bergerak. Aku pelan-pelan. Lalu, semakin cepat. Aku mencium lehernya, mencium bibirnya, menggigit telinganya. "Gimana? Enak enggak?"
Dia mendesah. "Mmhh... enak. Enak banget. Gila... kamu... kamu beneran jago."
"Aku bilang apa? Aku enggak takut sama kamu."
Aku semakin cepat. Aku semakin dalam. Dia enggak bisa menahannya lagi. Dia menjerit. "Aaakhh... gila... gila... aku mau keluar!"
Aku tersenyum. "Sabar, Sayang. Aku belum selesai."
Aku terus bergerak. Semakin cepat. Semakin dalam. Sampai akhirnya, dia menjerit lagi. "Aaakhh... aku... aku enggak tahan! Keluarrr..."
Dia memelukku erat. Aku juga memeluknya erat. Napas kami enggak karuan. Kami terengah-engah. Kami kelelahan. Tapi, kami masih enggak bisa berhenti. Aku mencium bibirnya.
"Gimana? Enak?"
Dia mengangguk. "Enak banget. Kamu... siapa kamu?"
"Aku Eliza. Aku cewek yang bikin kamu pasrah sama aku."
---
"Mau lagi?" tanyaku.
Dia kaget. "Enggak... enggak usah. Aku udah enggak kuat."
"Bohong," kataku sambil menyeringai. Aku naik lagi ke atasnya, lalu mulai bergerak lagi. Dia enggak bisa menolaknya. Dia cuma bisa mendesah, menjerit, dan menyerah. Dia sudah pasrah.
Kami melakukannya lagi. Dan lagi. Sampai akhirnya, kami berdua terkapar di lantai WC. Kami kelelahan. Keringat membasahi tubuh kami. Napas kami masih enggak karuan.
"Kamu... kamu gila," katanya.
"Aku tahu. Kamu suka?"
Dia mengangguk. "Suka banget. Gila. Aku enggak pernah ngerasain kayak gini sebelumnya."
Aku tersenyum. "Sama. Aku juga."
Kami berdua bangkit. Kami pakai lagi baju kami yang sudah sobek. Kami saling membantu. Dia membetulkan kancing bajuku, aku merapikan rambutnya.
"Aku minta maaf," katanya.
Aku menggeleng. "Enggak usah. Aku yang harusnya minta maaf. Aku yang bikin kamu kayak gini."
"Enggak... ini salahku. Aku yang mulai duluan."
"Udah... enggak usah dipikirin. Yang penting, kita berdua suka kan?"
Dia mengangguk. Lalu, dia mencium bibirku. Ciuman kali ini beda. Ciumannya lembut, penuh perasaan. Aku membalasnya.
"Aku enggak tahu... aku bisa jatuh cinta sama kamu," katanya.
"Sama. Aku juga enggak tahu... aku bisa jatuh cinta sama kamu."
Kami berdua berpelukan. Kami masih di WC, tapi kami enggak peduli. Kami cuma mau berduaan. Kami berdua udah jatuh cinta.
---
Sejak malam itu, kami sering bertemu. Kami enggak cuma ketemu di sekolah, tapi juga di luar. Kami sering jalan-jalan, nonton bioskop, makan di restoran. Kami berdua jadi pasangan. Satpam dan siswi. Terdengar aneh, tapi kami berdua bahagia.
Kami enggak peduli sama orang-orang yang ngomongin kami. Kami cuma peduli sama cinta kami. Kami berdua tahu, cinta kami enggak biasa. Tapi kami enggak peduli. Kami cuma mau bersama.
Tamat.
Mau cerita yang lebih seru? silahkan buka situs Cerita Dewasa Pengalaman